Selasa, 06 November 2018

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan dan Ketaatan Hukum


     Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum atau efektivitas hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1.    Materi/Isi Hukum
  Dalam suatu proses penegakan hukum, faktor materi hukum adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan penegakan hukum itu sendiri. Namun tidak terlaksananya penegakan hukum dengan sempurna hal iyu disebabkan terjadinya masalah atau gangguan yang disebabkan karena beberapa hal, seperti tidak diikuti asas-asas berlakunya undang-undang yang merupakan suatu pedoman dari suatu perundang-undangan, hal yang kedua ialah belum adanya suatu aturan pelaksana untuk menerapkan undang-undang, dan yang ketiga ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran dan penerapannya.[1]
2.    Penegak Hukum
      penegakan hukum mempunyai peran penting dalam penegakan hukum itu sendiri, perilaku dan tingkahlaku aparat pun seharusnya mencerminkan suatu kepribadian yang dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Aparat penegak hukum  yang profesional adalah mereka yang dapat berdedikasi tinggi  pada profesi sebagai aparat penegak hukum akan dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya seorang penegak hukum dengan baik.[2]
3.    Sarana/Fasilitas
      Dengan dukungan sarana dan fasilitas yang memadai penegakan hukum akan dapat terlaksana dengan baik. Sarana dan fasilitas yang dimaksud, antara lain; sumber daya manusia, organisasi yang baik, peralatan yang mumpuni, dn sumber dana yang memadai. Bila sarana dan fasilitas tersebut dapat dapat dipenuhi maka penegakan hukum akan berjalan dengan maksimal.[3]
4.    Masyarakat
      Penegakan hukum adalah berasal dari masyarakat dan untuk masyarakat. Oleh karena itu peran masyarakat dalam penegakan hukum juga sangat menentukan. Masyarakat yang sadar hukum tentunya telah mengetahui, mana yang merupakan hak dan kewajiban mereka. Dengan demikian, mereka akan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka sesuai dengan aturan yang berlaku.[4]
5.  Budaya
      Budaya atau kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai dasar yang mendasari keberlakuan hukum dalam masyarakat, yang menjadi patokan nilai yang baik dan buruk. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto terdapat pasangan nilai yang berperan dalam hukum yaitu:[5]
a.    Nilai ketertiban dan ketentraman,
b.    Nilai Jasmaniah (kebendaan) dan nilai kerohanian (keahlakan),
c.    Nilai kelanggengan (konservatisme) dan nilai kebaruan (inovatisme).
      Nilai ketertiban biasanya disebut dengan keterikatan atau disiplin, sedangkan ketentraman merupakan suatu kebebasan, secara psikis suatu ketentraman ada bila seseorang tidak merasa khawatir dan tidak menjadi konflik batiniah. Nilai kebendaan dan keakhlakan merupakan nilai yang bersifat universal. Akan tetapi dalam kenyataan karena pengaruh modernisasi kedudukan nilai kebendaan berada pada posisi yang lebih tinggi dari pada nilai keakhlakan sehingga timbul suatu keadaan yang tidak serasi.[6]
      Nilai konservatisme dan nilai inovatisme senantiasa berperan dalam perkembangan hukum, di satu pihak ada yang menyatakan hukum hanya mengikuti perubahan yang terjadi dan bertujuan untuk mempertahankan "status quo". Di lain pihak ada anggapan-anggapan yang lain pula, bahwa hukum juga dapat berfungsi sebagai sarana mengadakan perubahan dan menciptakan hal-hal yang baru. Keserasian antara kedua nilai tersebut akan menempatkan hukum pada kedudukan dan peranan yang semestinya.[7]
      Budaya hukum atau kultur hukum menurut Lawrence M. Friedman merupakan:[8]
      Opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan),       kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para    penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan          berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

      Menurut Friedman bahwa kekuatan-kekuatan sosial secara terus menerus bekerja terhadap hukum, merusak dan memperbaharui, memperkuat dan memperrlemah, memilih bagian-bagian hukum yang akan dioperasikan dan yang tidak dioperasikan. Demi tuntunan untuk adanya istilah yang lebih baik, maka kita menamakan kekuatan-kekuatan sosial itu dengan istilah the legal culture, yang merupakan unsur dari sikap sosial dan nilai sosial.[9]
      Jika mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi ketaatan atau ketidaktaatan terhadap hukum  secara umum, maka menurut Achmad Ali, yang juga beberapa faktor berikut ini diakui oleh G.G. Howard & R.S. Mummers dalam Law Its Nature and Limits, antara lain:[10]
a.    Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu. Oleh karena itu, jika aturan hukum yang dimaksud adalah undang-undang, maka pembuat undang-undang dituntut untuk mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang tersebut.
b.    Kejelasan rumusan dari dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum. Jadi, perumusan aturan hukum itu, harus dirancang dengan baik, jika aturannya tertulis, harus ditulis dengan jelas dan mampu dipahami secara pasti.
c.    Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.
d.    Seyogiyanya aturan bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan. Sebab hukum yang melarang lebih mudah dilaksanakan.
e.    Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan memungkinkan dilaksanakan.


[1] Soejono Soekanto. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada hal 17-18
[2]  Ibid. hal 34
[3]  Ibid. hal 37
[4]  Ibid. hal 56-57
[5]  Ibid. hal 60
[6]  Ibid. hal 65
[7]  Ibid. hal 66
[8]  Achmad Ali., 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta: Kencana. Cetakan ke-4. hal 204
[9] Ibid. hal 227
[10] Ibid. hal 376

Sabtu, 16 September 2017

Teori Ketaatan Hukum

Kajian sosiologi hukum terhadap ketaatan atau kepatuhan hukum menurut Satjipto Rahardjo pada dasarnya melibatkan dua variabel, masing-masing adalah hukum dan manusia yang menjadi objek pengaturan hukum tersebut. Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum tidak hanya dilihat sebagai fungsi peraturan hukum, melainkan juga fungsi manusia yang menjadi sasaran pengaturan. Kepatuhan hukum tidak hanya dijelaskan dari kehadiran hukum semata, melainkan juga dari kesediaan manusia untuk mematuhinya.[1]
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah atas dasar apakah seseorang atau kelompok orang atau suatu masyarakat itu taat/patuh pada hukum yang berlaku. Soerjono Soekanto mengemukakan tentang dasar-dasar kepatuhan terhadap suatu kaidah, termasuk kaidah hukum adalah disebabkan:[2]
a.     Sebab pertama mengapa seseorang atau kelompok atau masyarakat mematuhi kaidah-kaidah adalah karena dia diberi indoktrinir untuk berbuat demikian. Sejak kecil manusia telah dididik agar mematuhi kaidah-kaidah yang beraku dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya, maka kaidah-kaidah sebenarnya telah ada sewaktu sesorang dilahirkan, dan semula manusia menerimahnya secara tidak sadar. Melalui proses sosialisasi manusia didik untuk mengenal, mengetahui, serta mematuhi kaidah-kaidah tersebut.
b.     Oleh karena sejak mengalami proses sosialisasi maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku. Memang pada mulanya adalah sukar sekali untuk mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku yang seolah-olah mengekang kebebasan. Akan tetapi, apabila hal itu setiap hari dijumpai, maka lama kelamaan akan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhinya, terutama apabila manusia sudah mulai mengulangi perbuatan-perbuatannya dengan bentuk dan cara yang sama.
c.      Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas dan teratur. Akan tetapi apa yang pantas dan teratur bagi seseorang, belum tentu pantas dan teratur bagiorang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu patokan tentang kepantasan dan keteraturan tersebut; patokan-patokan tadi merupakan pedoman-pedoman atau takaran-takaran tentang tingkah laku yang dinamakan kaidah. Dengan demikian, maka salah satu faktor yang menyebabkan orang taat pada kaidah adalah karena kegunaan daripada kaidah tersebut.  
d.     Salah satu sebab mengapa orang patuh pada kaidah-kaidah adalah karena kepatuhan tersebut merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam kelompoknya karena dia menganggapkelompoknya lebih dominan dari kelompok-kelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompoknya tadi.

Terdapat macam-macam derajat kepatuhan terhadap kaidah-kaidah, mulai dari derajat kesesuaian sikap dan perilaku dengan nilai dan kaidah yang berlaku atau konformitas yang tinggi sampai pada mereka yang dinamakan golongan-golongan non konformitas. Bahkan pada masyarakat-masyarakat yang mempunyai kebudayaan dan struktur sosial sederhana, dapat dijumpai orang-orang yang tidak mematuhi kaidah-kaidah.
Di dalam masyarakat, seorang individu taat pada kaidah-kaidah karena dia mempunyai perasaan keadilan yang bersifat timbal balik. Hal ini timbul dan tumbuh berkembang sebagai akibat dari partisipasinya dalam hubungan-hubungan sosial terutama dalam kelompok-kelompok seusia. Dalam kaitan ini, Soerjono Soekanto mengemukakan pendapat Hoflanfd, Janis dan Kelly, sebagai berikut :
Bahwa keinginan untuk tetap menjadi bagian dari kelompok merupakan motivasi dasar dari individu untuk secara pribadi taat pada hukum. Sebenarnya keinginan tersebut tidaklah semata-mata karena penilaian positif terhadap keanggotaan kelompok. Hal itu terjadi karena adanya suatu kekuatan yang menahan seseorang untuk meninggalkan kelompoknya, karena penilaiannya yang negatif terhadap keadaan di luar kelompoknya, karena kesadarannya betapa beratnya keadaan apabila ia berada di luar kelompoknya dan karena adanya kekuatan-kekuatan tertentu mempengaruhinya dari kelompoknya.[3]

Pandangan lain mengenai pertanyaan mengapa seseorang harus taat pada hukum dapat dijawab secara filosofi, sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali dari tema tentang compliance dalam buku The Philosophy of Law An Encyclopedia karya editor Cristopher Berry Gray, bahwa paling tidaknya ada tiga pandangan mengapa seseorang menaati hukum, sebagai berikut :[4]
a.    Pandangan ekstrem pertama, adalah pandangan bahwa merupakan 'kewajiban moral' bagi setiap warga negara untuk melakukan yang terbaik yaitu senantiasa menaati hukum, kecuali dalam hal hukum memang menjadi tidak menjamin kepastian atau inkonsistensi, kadang-kadang keadaan ini muncul dalam pemerintahan rezim lalim.
b.    Pandangan kedua yang dianggap pandangan tengah, adalah bahwa kewajiban utama bagi setiap orang ('prime face') adalah kewajiban untuk menaati hukum.
c.     Pandangan ketiga dianggap pandangan ekstrem kedua yang berlawanan dengan pandangan ekstrem pertama, adalah bahwa kita hanya mempunyai kewajiban moral untuk menaati hukum, jika hukum itu benar dan kita tidak terikat untuk menaati hukum.

   Jadi, dapat dipahami bahwa secara filosofis pada dasarnya setiap orang memiliki kewajiban untuk taat pada hukum. Ketiga pandangan di atas memilik pandangan tentang kewajiban untuk menaati hukum yang berbeda. Pandangan pertama memandang bahwa menjadi kewajiban moral untuk setiap warga menaati hukum kecuali, jika hukum itu tidak menjamin kepastian hukum atau inkonsisten. Pandangan lainnya yang bertentangan dengan pandangan sebelumnya, memandang bahwa kewajiban moral untuk menaati hukum hanya jika hukum itu benar, sehingga kita tidak terikat untuk menaati hukum. Pandangan lain yang dianggap sebagai pandangan tengah ialah pandangan bahwa kewajiban utama setiap orang ialah kewajiban untuk taat pada hukum.
Soerjono Soekanto mengemukakan pendapat H.C Kelman bahwa masalah kepatuhan hukum yang merupakan suatu derajat secara kualitatif dapat dibedakan dalam tiga proses, sebagai berikut:[5]
1.    Compliance, diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin dijatuhkan. Kepatuhan ini bukan didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya maka kepatuhan akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah hukum tersebut.
2.    Identification, terjadi apabila kepatuhan terhadap hukum ada bukan karena intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan interaksi tadi. Walaupun sesorang tidak menyukai penegak hukum akan tetapi proses identifikasi terhadapnya berjalan terus dan mulai berkembang perasaan-perasaan positif terhadapnya. Hal ini disebabkan, oleh karena orang yang bersangkutan berusaha untuk mengatasi perasaan-perasaan khawatirnya terhadap kekecewaan tertentu, dengan jalan menguasai objek frustasi tersebut dengan mengadakan identifikasi.
3.    Internalization, sesorang mematuhi kaidah-kaidah hukum oleh karena secara intrinstik keatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya sejak semula pengaruh terjadi  atau oleh karena dia mengubah nilai-nilai yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah komformitas yang didasarkan pada motivasi secara intinstik. Pusat kekuatan dari proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah yang bersangkutan, terlepas dari perasaan atau nilai-nilai terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya.
Pendapat di atas diutarakan pula oleh Achmad Ali dengan formulasi bahasa sendiri untuk mempermudah mahasiswa memahami konsep H.C Kelman, sebagai berikut:[6]
1)    Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika sesorang menaati suatu aturan, hanya karena ia takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini, karena ia membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
2)    Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.
3)    Ketaatan yang bersifat internalization,  yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinstik yang dianutnya.

Di dalam realitasnya, menurut Achmad Ali bahwa berdasarkan konsep H.C. Kelman tersebut, seseorang dapat menaati suatu aturan hukum, hanya karena ketaatan salah satu jenis saja, misalnya hanya taat karena  compliance, dan tidak karena identification, atau internalization. Tetapi juga dapat terjadi, seseorang dapat menaati suatu aturan hukum, berdasarkan dua jenis atau bahkan tiga jenis ketaatan sekaligus. Selain karena aturan hukum itu memang cocok dengan nilai-nilai intrinstik yang dianutnya, juga sekaligus ia dapat menghindari sanksi dan memburuknya hubungan baiknya dengan pihak lain.[7]
Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan, kapan suatu aturan hukum atau perundang-undangan dianggap tidak efektif berlakunya, menurut Achmad Ali jawabannya adalah:[8]
a.     Jika sebagian besar warga masyarakat tidak menaatinya;
b.     Jika ketaatan sebagian besar warga masyarakat hanya ketaatan yang bersifat 'compliance' atau 'identification'. Dengan kata lain, walaupun sebagian besar warga masyarakat terlihat menaati aturan hukum atau perundang-undangan, namun ukuran atau kualitas efektivitasnya aturan atau perundang-undangan itu masih dapat dipertanyakan.
Jadi menurut Achmad Ali, dengan mengetahui adanya tiga jenis ketaatan tersebut, maka tidak dapat sekedar menggunakan ukuran ditaatinya suatu aturan hukum atau perundang-undangan sebagai bukti efektifnya aturan tersebut, tetapi paling tidaknya juga harus ada perbedaan kualitas efektivitasnya. Semakin banyak warga masyarakat yang menaati suatu aturan atau perundang-undangan hanya dengan ketaatan yang bersifat 'compliance' atau 'identification'  saja, berarti kualitas efektivitasnya masih rendah, sebaliknya semakin banyak ketaatan yang bersifat 'internalization', maka semakin tinggi kualitas efektivitas aturan hukum atau perundang-undangan itu.


DAFTAR PUSTAKA:
Achmad Ali. 2012. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta: Kencana. Cet 4.

Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Yogyakarta: Genta Publishing.

Soerjono Soekanto. 1982. Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial. Bandung: Alumni.





[1] Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Yogyakarta: Genta Publishing. hal 207
[2] Soerjono Soekanto. 1982. Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial. Bandung: Alumni. hal 54
[3] Ibid. hal 227
[4] Achmad Ali. Op.,cit. hal 371
[5] Soerjono Soekanto. 1982. Op.cit. hal 227-228
[6]  Ahmad Ali. Op.,cit. hal 348
[7]  Ibid.
[8] Ibid. hal 349

Teori Tentang Kesadaran Hukum


Di dalam ilmu hukum dikenal adanya beberapa pendapat mengenai kesadaran hukum. Ada yang merumuskan bahwa kesadaran hukum merupakan satu-satunya sumber dari hukum dan kekuatan mengikatnya hukum, serta keyakinan hukum individu dalam  masyarakat yang merupakan kesadaran hukum individu adalah dasar atau pokok terpenting dari kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum merupakan salah satu unsur penting selain unsur ketaatan hukum yang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum atau perundang-undangan di dalam masyarakat.
Menurut Krabbe, kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.[1]
Pengertian lain mengenai kesadaran hukum, dijelaskan oleh Soerjono Soekanto bahwa kesadaran hukum itu merupakan persoalan nilai-nilai dan konsepsi-konsepsi abstrak yang terdapat dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya.[2]
Kesadaran hukum mempunyai beberapa konsepsi, salah satu diantaranya adalah konsepsi mengenai kebudayaan hukum. Konsepsi ini mengandung ajaran-ajaran kesadaran hukum yang lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum dengan perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif.
Menurut Scholten yang dimaksud dengan kesadaran hukum adalah:
Kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup  kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara  hukum (recht) dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan.[3]

Pendapat Laica Marzuki bahwa pengertian kesadaran hukum yaitu:
Pertama-tama bertitik tolak dari pemahaman yang memandang bahwa kesadaran hukum merupakan bagian alam kesadaran manusia. Hanya pada manusia yang berada dalam kondisi kesadaran yang sehat serta adekuat (compos menitis) dapat bertumbuh dan berkembang penghayatan kesadaran hukum. Kesadaran hukum bukan bagian dari alam ketidaksadaran manusia, meskipun pertumbuhannya dipengaruhi oleh naluriah hukum (rectsinstinct) yang menempati wujud bawah peraaan hukum (lagere vorm van rechtsgevoed).[4]

Kesadaran hukum itu sendiri menurut Achmad Ali ada dua macam, yaitu:[5]
a.  Kesadaran hukum positif, identik dengan ketaatan hukum.
b.  Kesadaran hukum negatif identik dengan ketidaktaatan hukum.

Kesadaran hukum yang dimiliki sesorang atau warga masyarakat, belum menjamin bahwa seseorang atau warga masyarakat tersebut akan menaati suatu aturan hukum atau perundang-undangan. Sebagai contoh, diberikan oleh Achmad Ali, seseorang yang mempunyai kesadaran hukum bahwa melanggar traffic light adalah pelanggaran hukum, dan menyadari pula bahwa hanya polisi yang berwenang untuk menangkap dan menilangnya, orang itu dengan kesadaran hukumnya tadi,belum tentu tidak melanggar lampu merah. Ketika orang itu melihat tidak ada polisi di sekitar traffic light, maka orang itu karena terburu-buru untuk tidak terlambat menghadiri suatu acara penting, mungkin saja akan melanggar lampu merah, sekali lagi dengan kesadaran hukumnya, bahwa dirinya tidak akan tertangkap dan tidak akan dikenai tilang, karena tidak ada seorang polisi pun di sekitar itu.[6]
Kesadaran hukum dengan hukum mempunyai kaitan yang sangat erat, dimana kesadaran hukum merupakan faktor dalam penemuan hukum sehingga kesadaran hukum merupakan sumber dari segala hukum. Jadi, hukum hanyalah hal yang memenuhi kesadaran hukum kebanyakan orang, sehingga undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum kebanyakan orang akan hilang kekuatan mengikatnya.
Kesadaran hukum adalah sumber dari segala hukum. Dengan kata lain kesadaran hukum tersebut ada pada setiap manusia karena setiap manusia memiliki kepentingan, sehingga apabila hukum tersebut dihayati dan dilaksanakan dengan baik maka kepentingannya akan terlindungi dan apabila terjadi pergesekan kepentingan maka hukum hadir sebagai alternatif penyelasaian. Dengan demikian kesadaran hukum bukan hanya harus dimiliki oleh golongan tertentu saja seperti sarjana hukum, pengacara, polisi, jaksa serta hakim, tetapi pada dasarnya harus dimiliki oleh setiap manusia tanpa terkecuali agar kepentingannya dapat terlindungi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum menurut Soerjono Soekanto, yakni sebagai berikut:[7]
1.  Pengetahuan tentang kesadaran hukum, secara umum jika ada peraturan perundang-undangan yang telah disahkan, maka dengan sendirinya peraturan tersebut itu akan tersebar luas dan diketahui oleh masyarakat umum. Dalam hal ini setiap orang dianggap tahu hukum dan tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar atau melihat peraturan tersebut, tetapi alasan demikian masih sering ditemukan dalam suatu golongan masyarakat tertentu.
2.  Pengakuan terhadap ketentuan-ketentuan hukum, pengakuan masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan hukum berarti bahwa masyarakat mengetahui isi dan kegunaan dari norma-norma hukum tertentu. Dalam artian, ada suatu derajat pemahaman terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Namun hal ini belum merupakan jaminan bahwa warga masyarakat yang mengakui ketentuan-ketentuan hokum tertentu tersebut akan dengan sendirinya mematuhinya, tetapi perlu diakui juga bahwa orang-orang yang memahami suatu ketentuan hukum tertentu adakalanya cenderung untuk mematuhinya.
3.  Penghargaan terhadap ketentuan-ketentuan hukum, Penghargaan atau sikap terhadap ketentuan-ketentuan hukum, yaitu sampai sampai sejauh mana suatu tindakan atau perbuatan yang dialarang oleh hukum dapat diterima sebagian besar warga serta bagaimana reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem norma atau nilai yang berlaku. Masyarakat mungkin mematuhi atau menentang hukum dikarenakan kepentingan mereka terjamin pemenuhannya.
4.  Kepatuhan masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan hukum, salah satu tugas hukum yang terpenting adalah mengatur kepentingan-kepentingan seluruh warga masyarakat. Kepentingan seluruh warga masyarakat tersebut lazimnya bersumber dari norma atau nilai yang berlaku, yaitu anggapan mengenai apa yang baik yang harus dilakukan dan apa yang buruk yang harus dihindari.
5.  Ketaatan masyarakat terhadap hukum, ketaatan masyarakat terhadap hukum sedikit banyaknya bergantung pada apakah kepentingan-kepentingan warga masyarakat dalam bidang-bidang tertentu dapat ditampung oleh ketentuan-ketentuan hukum atau tidak. Ada pula suatu anggapan bahwa kepatuhan hukum disebabkan karena adanya rasa takut pada sanksi, karena ingin memelihara hubungan baik, karena kepentingannya terlindungi, dan karena cocok dengan nilai yang dianutnya.

Indikator-indikator dari kesadaran hukum sebenarnya merupakan petunjuk yang relatif konkrit tentang taraf kesadaran hukum. Adapun indikator-indikator kesadaran hukum menurut Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut:[8]
1.  Pengetahuan hukum, yaitu seseorang yang mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu tersebut telah diatur oleh hukum. Peraturan hukum yang dimaksud di sini adalah hukum tertulis maupun tidak tertulis. Perilaku tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.
2.  Pemahaman hukum, yaitu seseorang yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, misalnya adanya pengetahuan dan pemahaman yang benar dari seorang pelajar tentang hakikat dan arti pentingnya peraturan sekolah.
3.  Sikap hukum, yaitu seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu tehadap hukum.
4.  Perilaku hukum, yaitu seseorang atau pelajar mematuhi peraturan yang berlaku.

Keempat indikator kesadaran hukum di atas dalam perwujudannya dapat menunjukkan tingakatan-tingakatan kesadaran hukum tertentu. Apabila seseorang hanya mengetahui hukum maka dapat dikatakan bahwa ia memiliki tingkat kesaadaran hukum yang masih rendah, tetapi jika seseorang telah berperilaku sesuai dengan hukum dalam suatu masyarakat maka dapat dikatakan bahwa ia memiliki tingkat kesadaran hukum yang tinggi.
Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat kesadaran hukum warga negaranya. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum penduduk suatu negara maka kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya akan semakin tertib. Sebaliknya, jika tingkat kesadaran hukum penduduk suatu negara rendah maka kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya akan semakin tidak terkendali, sehingga yang berlaku adalah hukum rimba dimana yang kuatlah yang menang.


DAFTAR PUSTAKA:

Achmad Ali. 2012. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta: Kencana. Cet 4.

Achmad Ali dan Wiwie Heryani. 2012. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: Kencana.

Marwan Mas. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia

Laica Marzuki. 1995. Siri, Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar. Hasanuddin University Pres

Soerjono Soekanto. 1982. Kesadarn Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers

Soerjono Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada




[1] Achmad Ali dan Wiwie Heryani. 2012. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: Kencana. hal 141
[2] Marwan Mas. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. hal 88
[3] Soerjono Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hal 215
[4] Laica Marzuki. 1995. Siri, Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar. Hasanuddin University Pres. hal 152
[5] Achmad Ali. 2012. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta: Kencana. Cet 4. hal 298
[6] Ibid. hal 300
[7] Soerjono Soekanto. 1982. Kesadarn Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. hal 123-124
[8] Ibid. hal 125

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan dan Ketaatan Hukum

     Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum atau efektivitas hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1.     Mat...