Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum atau
efektivitas hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Materi/Isi Hukum
Dalam suatu proses penegakan hukum, faktor materi hukum
adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan penegakan hukum itu
sendiri. Namun tidak terlaksananya penegakan hukum dengan sempurna hal iyu
disebabkan terjadinya masalah atau gangguan yang disebabkan karena beberapa
hal, seperti tidak diikuti asas-asas berlakunya undang-undang yang merupakan
suatu pedoman dari suatu perundang-undangan, hal yang kedua ialah belum adanya
suatu aturan pelaksana untuk menerapkan undang-undang, dan yang ketiga
ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan
kesimpangsiuran di dalam penafsiran dan penerapannya.[1]
2. Penegak Hukum
penegakan hukum mempunyai peran penting
dalam penegakan hukum itu sendiri, perilaku dan tingkahlaku aparat pun
seharusnya mencerminkan suatu kepribadian yang dapat menjadi teladan bagi
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Aparat penegak hukum yang profesional adalah mereka yang dapat
berdedikasi tinggi pada profesi sebagai
aparat penegak hukum akan dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya seorang
penegak hukum dengan baik.[2]
3. Sarana/Fasilitas
Dengan dukungan sarana dan fasilitas yang
memadai penegakan hukum akan dapat terlaksana dengan baik. Sarana dan fasilitas
yang dimaksud, antara lain; sumber daya manusia, organisasi yang baik,
peralatan yang mumpuni, dn sumber dana yang memadai. Bila sarana dan fasilitas
tersebut dapat dapat dipenuhi maka penegakan hukum akan berjalan dengan
maksimal.[3]
4. Masyarakat
Penegakan hukum adalah berasal dari
masyarakat dan untuk masyarakat. Oleh karena itu peran masyarakat dalam
penegakan hukum juga sangat menentukan. Masyarakat yang sadar hukum tentunya
telah mengetahui, mana yang merupakan hak dan kewajiban mereka. Dengan demikian,
mereka akan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka sesuai dengan aturan yang
berlaku.[4]
5. Budaya
Budaya atau kebudayaan hukum pada dasarnya
mencakup nilai dasar yang mendasari keberlakuan hukum dalam masyarakat, yang
menjadi patokan nilai yang baik dan buruk. Menurut Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto terdapat pasangan nilai yang berperan dalam hukum yaitu:[5]
a. Nilai ketertiban dan ketentraman,
b. Nilai Jasmaniah (kebendaan) dan nilai kerohanian
(keahlakan),
c.
Nilai kelanggengan
(konservatisme) dan nilai kebaruan (inovatisme).
Nilai ketertiban biasanya disebut dengan
keterikatan atau disiplin, sedangkan ketentraman merupakan suatu kebebasan,
secara psikis suatu ketentraman ada bila seseorang tidak merasa khawatir dan
tidak menjadi konflik batiniah. Nilai kebendaan dan keakhlakan merupakan nilai
yang bersifat universal. Akan tetapi dalam kenyataan karena pengaruh
modernisasi kedudukan nilai kebendaan berada pada posisi yang lebih tinggi dari
pada nilai keakhlakan sehingga timbul suatu keadaan yang tidak serasi.[6]
Nilai konservatisme dan nilai inovatisme
senantiasa berperan dalam perkembangan hukum, di satu pihak ada yang menyatakan
hukum hanya mengikuti perubahan yang terjadi dan bertujuan untuk mempertahankan
"status quo". Di lain pihak ada anggapan-anggapan yang lain pula,
bahwa hukum juga dapat berfungsi sebagai sarana mengadakan perubahan dan
menciptakan hal-hal yang baru. Keserasian antara kedua nilai tersebut akan
menempatkan hukum pada kedudukan dan peranan yang semestinya.[7]
Budaya hukum atau kultur hukum menurut
Lawrence M. Friedman merupakan:[8]
Opini-opini,
kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan,
cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan
hukum.
Menurut Friedman bahwa kekuatan-kekuatan
sosial secara terus menerus bekerja terhadap hukum, merusak dan memperbaharui,
memperkuat dan memperrlemah, memilih bagian-bagian hukum yang akan dioperasikan
dan yang tidak dioperasikan. Demi tuntunan untuk adanya istilah yang lebih
baik, maka kita menamakan kekuatan-kekuatan sosial itu dengan istilah the legal culture, yang merupakan unsur
dari sikap sosial dan nilai sosial.[9]
Jika mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi
ketaatan atau ketidaktaatan terhadap hukum
secara umum, maka menurut Achmad Ali, yang juga beberapa faktor berikut
ini diakui oleh G.G. Howard & R.S. Mummers dalam Law Its Nature and Limits, antara lain:[10]
a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan
hukum orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu. Oleh karena
itu, jika aturan hukum yang dimaksud adalah undang-undang, maka pembuat
undang-undang dituntut untuk mampu memahami kebutuhan hukum dari target
pemberlakuan undang-undang tersebut.
b. Kejelasan rumusan dari dari substansi aturan hukum,
sehingga mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum. Jadi,
perumusan aturan hukum itu, harus dirancang dengan baik, jika aturannya
tertulis, harus ditulis dengan jelas dan mampu dipahami secara pasti.
c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan
hukum itu.
d. Seyogiyanya aturan bersifat melarang, dan jangan bersifat
mengharuskan. Sebab hukum yang melarang lebih mudah dilaksanakan.
e.
Berat ringannya sanksi
yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan memungkinkan
dilaksanakan.
[1] Soejono Soekanto. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada hal 17-18
[8] Achmad Ali., 2012, Menguak
Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk
Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta: Kencana. Cetakan ke-4. hal 204