Kajian sosiologi hukum
terhadap ketaatan
atau kepatuhan hukum menurut Satjipto
Rahardjo pada dasarnya melibatkan dua variabel,
masing-masing adalah hukum dan manusia yang menjadi objek pengaturan hukum
tersebut. Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum tidak hanya dilihat sebagai
fungsi peraturan hukum, melainkan juga fungsi manusia yang menjadi sasaran
pengaturan. Kepatuhan hukum tidak hanya dijelaskan dari kehadiran hukum semata,
melainkan juga dari kesediaan manusia untuk mematuhinya.[1]
Pertanyaan yang timbul
kemudian adalah atas dasar apakah seseorang atau kelompok orang atau suatu
masyarakat itu taat/patuh pada hukum yang berlaku. Soerjono Soekanto
mengemukakan tentang dasar-dasar kepatuhan terhadap suatu kaidah, termasuk
kaidah hukum adalah disebabkan:[2]
a. Sebab
pertama mengapa seseorang atau kelompok atau masyarakat mematuhi kaidah-kaidah
adalah karena dia diberi indoktrinir untuk berbuat demikian. Sejak kecil manusia
telah dididik agar mematuhi kaidah-kaidah yang beraku dalam masyarakat.
Sebagaimana halnya dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya, maka kaidah-kaidah
sebenarnya telah ada sewaktu sesorang dilahirkan, dan semula manusia
menerimahnya secara tidak sadar. Melalui proses sosialisasi manusia didik untuk
mengenal, mengetahui, serta mematuhi kaidah-kaidah tersebut.
b. Oleh
karena sejak mengalami proses sosialisasi maka lama kelamaan menjadi suatu
kebiasaan untuk mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku. Memang pada mulanya adalah
sukar sekali untuk mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku yang seolah-olah
mengekang kebebasan. Akan tetapi, apabila hal itu setiap hari dijumpai, maka
lama kelamaan akan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhinya, terutama apabila
manusia sudah mulai mengulangi perbuatan-perbuatannya dengan bentuk dan cara
yang sama.
c. Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup
pantas dan teratur. Akan tetapi apa yang pantas dan teratur bagi seseorang,
belum tentu pantas dan teratur bagiorang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu
patokan tentang kepantasan dan keteraturan tersebut; patokan-patokan tadi
merupakan pedoman-pedoman atau takaran-takaran tentang tingkah laku yang
dinamakan kaidah. Dengan demikian, maka salah satu faktor yang menyebabkan
orang taat pada kaidah adalah karena kegunaan daripada kaidah tersebut.
d. Salah
satu sebab mengapa orang patuh pada kaidah-kaidah adalah karena kepatuhan
tersebut merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi dengan
kelompok. Seseorang mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam kelompoknya
karena dia menganggapkelompoknya lebih dominan dari kelompok-kelompok lainnya,
akan tetapi justru karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompoknya
tadi.
Terdapat macam-macam
derajat kepatuhan terhadap kaidah-kaidah, mulai dari derajat kesesuaian sikap
dan perilaku dengan nilai dan kaidah yang berlaku atau konformitas yang tinggi
sampai pada mereka yang dinamakan golongan-golongan non konformitas. Bahkan pada
masyarakat-masyarakat yang mempunyai kebudayaan dan struktur sosial sederhana,
dapat dijumpai orang-orang yang tidak mematuhi kaidah-kaidah.
Di dalam masyarakat,
seorang individu taat pada kaidah-kaidah karena dia mempunyai perasaan keadilan
yang bersifat timbal balik. Hal ini timbul dan tumbuh berkembang sebagai akibat
dari partisipasinya dalam hubungan-hubungan sosial terutama dalam
kelompok-kelompok seusia. Dalam kaitan ini, Soerjono Soekanto mengemukakan
pendapat Hoflanfd, Janis dan Kelly, sebagai berikut :
Bahwa keinginan untuk tetap menjadi bagian dari
kelompok merupakan motivasi dasar dari individu untuk secara pribadi taat pada
hukum. Sebenarnya keinginan tersebut tidaklah semata-mata karena penilaian
positif terhadap keanggotaan kelompok. Hal itu terjadi karena adanya suatu
kekuatan yang menahan seseorang untuk meninggalkan kelompoknya, karena
penilaiannya yang negatif terhadap keadaan di luar kelompoknya, karena
kesadarannya betapa beratnya keadaan apabila ia berada di luar kelompoknya dan
karena adanya kekuatan-kekuatan tertentu mempengaruhinya dari kelompoknya.[3]
Pandangan
lain mengenai pertanyaan mengapa seseorang harus taat pada hukum dapat dijawab
secara filosofi, sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali dari tema tentang compliance dalam buku The
Philosophy of Law An Encyclopedia karya editor Cristopher Berry Gray, bahwa
paling tidaknya ada tiga pandangan mengapa seseorang menaati hukum, sebagai
berikut :[4]
a. Pandangan
ekstrem pertama, adalah pandangan bahwa merupakan 'kewajiban moral' bagi setiap
warga negara untuk melakukan yang terbaik yaitu senantiasa menaati hukum,
kecuali dalam hal hukum memang menjadi tidak menjamin kepastian atau
inkonsistensi, kadang-kadang keadaan ini muncul dalam pemerintahan rezim lalim.
b. Pandangan
kedua yang dianggap pandangan tengah, adalah bahwa kewajiban utama bagi setiap
orang ('prime face') adalah kewajiban untuk menaati hukum.
c. Pandangan
ketiga dianggap pandangan ekstrem kedua yang berlawanan dengan pandangan
ekstrem pertama, adalah bahwa kita hanya mempunyai kewajiban moral untuk
menaati hukum, jika hukum itu benar dan kita tidak terikat untuk menaati hukum.
Jadi, dapat dipahami bahwa
secara filosofis pada dasarnya setiap orang memiliki kewajiban
untuk taat pada hukum. Ketiga
pandangan di atas memilik pandangan tentang kewajiban untuk menaati hukum yang
berbeda. Pandangan pertama memandang bahwa menjadi kewajiban moral untuk setiap
warga menaati hukum kecuali, jika hukum itu tidak menjamin kepastian hukum atau
inkonsisten. Pandangan lainnya yang bertentangan dengan pandangan sebelumnya,
memandang bahwa kewajiban moral untuk menaati hukum hanya jika hukum itu benar,
sehingga kita tidak terikat untuk menaati hukum. Pandangan lain yang dianggap
sebagai pandangan tengah ialah pandangan bahwa kewajiban utama setiap orang
ialah kewajiban untuk taat pada hukum.
Soerjono Soekanto
mengemukakan pendapat H.C Kelman bahwa masalah kepatuhan hukum yang merupakan
suatu derajat secara kualitatif dapat dibedakan dalam tiga proses, sebagai
berikut:[5]
1.
Compliance, diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada
harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang
mungkin dijatuhkan. Kepatuhan ini bukan didasarkan pada suatu keyakinan pada
tujuan kaidah hukum yang bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian
dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya maka kepatuhan akan ada apabila ada
pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah hukum tersebut.
2.
Identification, terjadi apabila kepatuhan terhadap hukum ada bukan karena
intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada
hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah
hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari
hubungan-hubungan interaksi tadi. Walaupun sesorang tidak menyukai penegak
hukum akan tetapi proses identifikasi terhadapnya berjalan terus dan mulai
berkembang perasaan-perasaan positif terhadapnya. Hal ini disebabkan, oleh
karena orang yang bersangkutan berusaha untuk mengatasi perasaan-perasaan
khawatirnya terhadap kekecewaan tertentu, dengan jalan menguasai objek frustasi
tersebut dengan mengadakan identifikasi.
3. Internalization,
sesorang mematuhi
kaidah-kaidah hukum oleh karena secara intrinstik keatuhan tadi mempunyai
imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya sejak
semula pengaruh terjadi atau oleh karena
dia mengubah nilai-nilai yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut
adalah komformitas yang didasarkan pada motivasi secara intinstik. Pusat
kekuatan dari proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari
kaidah-kaidah yang bersangkutan, terlepas dari perasaan atau nilai-nilai
terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya.
Pendapat
di atas diutarakan pula oleh Achmad Ali dengan formulasi bahasa sendiri untuk
mempermudah mahasiswa memahami konsep H.C Kelman, sebagai berikut:[6]
1) Ketaatan
yang bersifat compliance, yaitu jika
sesorang menaati suatu aturan, hanya karena ia takut terkena sanksi. Kelemahan
ketaatan jenis ini, karena ia membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
2) Ketaatan
yang bersifat identification, yaitu
jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan
pihak lain menjadi rusak.
3) Ketaatan
yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan,
benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai
intrinstik yang dianutnya.
Di dalam realitasnya, menurut Achmad Ali bahwa berdasarkan
konsep H.C. Kelman tersebut, seseorang dapat menaati suatu aturan hukum, hanya
karena ketaatan salah satu jenis saja, misalnya hanya taat karena compliance,
dan tidak karena identification,
atau internalization. Tetapi juga
dapat terjadi, seseorang dapat menaati suatu aturan hukum, berdasarkan dua
jenis atau bahkan tiga jenis ketaatan sekaligus. Selain karena aturan hukum itu
memang cocok dengan nilai-nilai intrinstik yang dianutnya, juga sekaligus ia
dapat menghindari sanksi dan memburuknya hubungan baiknya dengan pihak lain.[7]
Selanjutnya untuk
menjawab pertanyaan, kapan suatu aturan hukum atau perundang-undangan dianggap
tidak efektif berlakunya, menurut Achmad
Ali jawabannya adalah:[8]
a.
Jika
sebagian besar warga masyarakat tidak menaatinya;
b.
Jika
ketaatan sebagian besar warga masyarakat hanya ketaatan yang bersifat
'compliance' atau 'identification'. Dengan kata lain, walaupun sebagian besar
warga masyarakat terlihat menaati aturan hukum atau perundang-undangan, namun
ukuran atau kualitas efektivitasnya aturan atau perundang-undangan itu masih
dapat dipertanyakan.
Jadi menurut Achmad Ali, dengan mengetahui adanya tiga jenis ketaatan
tersebut, maka tidak dapat sekedar menggunakan ukuran ditaatinya suatu aturan
hukum atau perundang-undangan sebagai bukti efektifnya aturan tersebut, tetapi paling tidaknya juga harus ada
perbedaan kualitas efektivitasnya. Semakin banyak warga masyarakat yang menaati
suatu aturan atau perundang-undangan hanya dengan ketaatan yang bersifat
'compliance' atau 'identification' saja,
berarti kualitas efektivitasnya masih rendah, sebaliknya semakin banyak ketaatan
yang bersifat 'internalization', maka semakin tinggi kualitas efektivitas
aturan hukum atau perundang-undangan itu.
DAFTAR PUSTAKA:
Achmad Ali. 2012. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta:
Kencana. Cet 4.
Satjipto
Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum
Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Yogyakarta: Genta Publishing.
Soerjono
Soekanto. 1982. Suatu Tinjauan Sosiologi
Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial. Bandung: Alumni.
[1] Satjipto
Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum
Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Yogyakarta: Genta Publishing. hal
207
[2] Soerjono
Soekanto. 1982. Suatu Tinjauan Sosiologi
Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial. Bandung: Alumni. hal 54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar